Jika kamu beranggapan kalau Indonesia belum mampu membuat drone, maka kamu keliru. Adalah Profesor Josaphat Tetuko yang saat ini telah mampu membuat drone kelas dunia.
Pakar UAV dunia Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Ph.D menawarkan drone untuk mendukung visi presiden terpilih Joko Widodo. Penawaran tersebut dikatakan khusus untuk Indonesia.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo yang juga berasal dari Indonesia menawarkan drone bernama Indonesian Sky Scanner Drone Garuda.
Drone yang mampu memindai langit Indonesia itu dinamai dengan nama “Garuda”. Dirinya saat itu mengklaim mampu membuat drone yang berkualitas namun jauh lebih murah dari harga drone dipasaran.
Prof Josaphat, mengatakan bahwa Garuda merupakan teknologi pertama di dunia yang dilengkapi dengan terobosan ruang udara bahkan ruang angkasa. Selain itu, dilansir dari berbagai sumber, beberapa perangkat khusus juga melengkapi kecanggihan Garuda seperti Synthetic Aperture Radar (SAR), Hyperspectral & TIR (Thermal Infrared Radar), high resolution and high vision camera, hingga teleskop.
Drone tersebut adalah jenis stratosphere drone. Drone ini dirancang terbang di ketinggian 13-20 kilometer di atas permukaan laut sehingga tidak mengganggu penerbangan sipil.
"Stratosphere drone ini saya propose khusus untuk Indonesia saja," kata Josh yang saat ini bekerja di Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang.
Josh telah memaparkan drone yang dikembangkannya kepada perwira di Direktorat Topografi TNI-AD dan Dinas Survei dan Pemotretan Udara TNI-AU pada 15 Agustus 2014 lalu di Jakarta.
Drone Garuda memiliki dua fungsi, sebagai drone sekaligus satelit. Selain itu, drone ini juga dapat dilengkapi dengan beragam sensor, mulai kamera hingga teleskop.
Dengan beragam sensor, drone bisa mendukung tujuan pengawasan wilayah perbatasan, penebangan dan perikanan ilegal, sampai pengejaran terorisme.
Ada beragam sensor yang bisa dibeli. Namun, Indonesia juga bisa mengembangkannya sendiri sekaligus memberdayakan ilmuwan dan akademisi di lokal. Contoh sensor yang bisa dikembangkan Indoensia antara lain sensor cuaca dan relay telekomunikasi untuk daerah terpencil.
Spesifikasi ini dianggap berbeda dengan jenis drone yang pada umumnya digunakan atau diteliti di Indonesia bahkan di dunia, sebab drone ini adalah jenis drone stratosphere yang memerlukan ketahanan di iklim luar angkasa.
Beberapa negara maju sudah mengantri untuk bisa menggunakan teknologi milik Profesor yang menjadi Guru Besar di Universitas Chiba, Jepang ini.
Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Ph.D atau yang sering di panggil dengan Josh adalah Full Professor di Center for Environmental Remote Sensing, Universitas Chiba, Jepang.
Dilahirkan 45 tahun yang lalu di Bandung, Jawa Barat di keluarga yang dekat dengan dunia militer. Ayahnya seorang Instruktur Phaskas TNI Angkatan Udara menginspirasinya untuk membuat banyak sekali paten berkaitan dengan radar, antena dan teknologi militer.
Untuk perangkat navigasi, Indonesia harus mengembangkan sendiri. Sistem navigasi biasa macam GPS tidak bisa digunakan sebab ketinggian maksimal pemakaian GPS adalah 18 km.
"Bila kita kembangkan dan operasikan saat ini secepatnya, maka jelas bisa dikatakan ini buatan Indonesia dan Indonesia menjadi pemimpin terdepan," urai Josh lewat email, Senin (1/9/2014).
Urang Bandung yang sudah berada di Jepang sejak mengenyam pendidikan sarjananya ini pernah menjabat sebagai peneliti di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dalam projek radar bawah tanah.
Kemudian Setelah lulus doktor (Ph.D) di Universitas Chiba pada tahun 2002, dia mulai mengembangkan dan menemukan ratusan jenis antena disana, yang semua sudah dipatenkan dan berbagai publikasi ilmiah di Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) serta mendapatkan banyak penghargaan.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Sang Pembuat Drone
Pada tahun 2005, dirinya diangkat menjadi Associate Professor setelah melewati berbagai seleksi pengangkatan PNS di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), pusat penelitian yg berada langsung di bawah Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang, di Universitas yg sama.
Penelitian terbarunya di bidang inderaja, yakni circularly polarized synthetic aperture radar (CP-SAR) yg sudah dipatenkan dan penggunaannya utk UAV, pesawat dan microsatellite yg dikembangkan di JMRSL, bikinnya diangkat menjadi Professor Penuh (Full Professor) pada 2013 lalu.
Sejak 1 April 2013, Josh terdaftar sebagai profesor termuda di Chiba University. Ia telah menghasilkan radar, satelit, dan pesawat nirawak. Ia juga mengantongi 120 paten, 500 kali presentasi di banyak negara, serta profesor dgn dana terbanyak.
Selain dosen dan perekayasa, Josh juga seorang filantropi. Sejak tahun 2002, bersama keluarganya, ia mendirikan yayasan pendidikan Pandito Panji Foundation. Nama yayasan itu diambil dari nama putranya sendiri.
Yayasan itu memberikan beasiswa penuh bagi anak-anak bangsa sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga master. “Untuk tingkat doktor, kita biarkan mereka utk mencari dana sendiri agar mereka punya kebanggaan sudah membiayai dirinya sendiri,” tutur Josh.
“Ini kesempatan saya memberikan banyak manfaat bagi anak-anak Indonesia utk belajar di luar. Mudah-mudahan dalam 5-10 tahun ke depan, agen-agen saya ini bisa memperbaiki Indonesia. Saya kira bisa. Mungkin suatu saat juga ada pengganti saya,” harapnya.
Pakar UAV dunia Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Ph.D menawarkan drone untuk mendukung visi presiden terpilih Joko Widodo. Penawaran tersebut dikatakan khusus untuk Indonesia.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo yang juga berasal dari Indonesia menawarkan drone bernama Indonesian Sky Scanner Drone Garuda.
Drone yang mampu memindai langit Indonesia itu dinamai dengan nama “Garuda”. Dirinya saat itu mengklaim mampu membuat drone yang berkualitas namun jauh lebih murah dari harga drone dipasaran.
Prof Josaphat, mengatakan bahwa Garuda merupakan teknologi pertama di dunia yang dilengkapi dengan terobosan ruang udara bahkan ruang angkasa. Selain itu, dilansir dari berbagai sumber, beberapa perangkat khusus juga melengkapi kecanggihan Garuda seperti Synthetic Aperture Radar (SAR), Hyperspectral & TIR (Thermal Infrared Radar), high resolution and high vision camera, hingga teleskop.
"Stratosphere drone ini saya propose khusus untuk Indonesia saja," kata Josh yang saat ini bekerja di Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang.
Josh telah memaparkan drone yang dikembangkannya kepada perwira di Direktorat Topografi TNI-AD dan Dinas Survei dan Pemotretan Udara TNI-AU pada 15 Agustus 2014 lalu di Jakarta.
Drone Garuda memiliki dua fungsi, sebagai drone sekaligus satelit. Selain itu, drone ini juga dapat dilengkapi dengan beragam sensor, mulai kamera hingga teleskop.
Dengan beragam sensor, drone bisa mendukung tujuan pengawasan wilayah perbatasan, penebangan dan perikanan ilegal, sampai pengejaran terorisme.
Ada beragam sensor yang bisa dibeli. Namun, Indonesia juga bisa mengembangkannya sendiri sekaligus memberdayakan ilmuwan dan akademisi di lokal. Contoh sensor yang bisa dikembangkan Indoensia antara lain sensor cuaca dan relay telekomunikasi untuk daerah terpencil.
Spesifikasi ini dianggap berbeda dengan jenis drone yang pada umumnya digunakan atau diteliti di Indonesia bahkan di dunia, sebab drone ini adalah jenis drone stratosphere yang memerlukan ketahanan di iklim luar angkasa.
Beberapa negara maju sudah mengantri untuk bisa menggunakan teknologi milik Profesor yang menjadi Guru Besar di Universitas Chiba, Jepang ini.
Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Ph.D atau yang sering di panggil dengan Josh adalah Full Professor di Center for Environmental Remote Sensing, Universitas Chiba, Jepang.
Dilahirkan 45 tahun yang lalu di Bandung, Jawa Barat di keluarga yang dekat dengan dunia militer. Ayahnya seorang Instruktur Phaskas TNI Angkatan Udara menginspirasinya untuk membuat banyak sekali paten berkaitan dengan radar, antena dan teknologi militer.
Untuk perangkat navigasi, Indonesia harus mengembangkan sendiri. Sistem navigasi biasa macam GPS tidak bisa digunakan sebab ketinggian maksimal pemakaian GPS adalah 18 km.
"Bila kita kembangkan dan operasikan saat ini secepatnya, maka jelas bisa dikatakan ini buatan Indonesia dan Indonesia menjadi pemimpin terdepan," urai Josh lewat email, Senin (1/9/2014).
Urang Bandung yang sudah berada di Jepang sejak mengenyam pendidikan sarjananya ini pernah menjabat sebagai peneliti di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dalam projek radar bawah tanah.
Kemudian Setelah lulus doktor (Ph.D) di Universitas Chiba pada tahun 2002, dia mulai mengembangkan dan menemukan ratusan jenis antena disana, yang semua sudah dipatenkan dan berbagai publikasi ilmiah di Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) serta mendapatkan banyak penghargaan.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Sang Pembuat Drone
Pada tahun 2005, dirinya diangkat menjadi Associate Professor setelah melewati berbagai seleksi pengangkatan PNS di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), pusat penelitian yg berada langsung di bawah Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang, di Universitas yg sama.
Penelitian terbarunya di bidang inderaja, yakni circularly polarized synthetic aperture radar (CP-SAR) yg sudah dipatenkan dan penggunaannya utk UAV, pesawat dan microsatellite yg dikembangkan di JMRSL, bikinnya diangkat menjadi Professor Penuh (Full Professor) pada 2013 lalu.
Sejak 1 April 2013, Josh terdaftar sebagai profesor termuda di Chiba University. Ia telah menghasilkan radar, satelit, dan pesawat nirawak. Ia juga mengantongi 120 paten, 500 kali presentasi di banyak negara, serta profesor dgn dana terbanyak.
Selain dosen dan perekayasa, Josh juga seorang filantropi. Sejak tahun 2002, bersama keluarganya, ia mendirikan yayasan pendidikan Pandito Panji Foundation. Nama yayasan itu diambil dari nama putranya sendiri.
Yayasan itu memberikan beasiswa penuh bagi anak-anak bangsa sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga master. “Untuk tingkat doktor, kita biarkan mereka utk mencari dana sendiri agar mereka punya kebanggaan sudah membiayai dirinya sendiri,” tutur Josh.
“Ini kesempatan saya memberikan banyak manfaat bagi anak-anak Indonesia utk belajar di luar. Mudah-mudahan dalam 5-10 tahun ke depan, agen-agen saya ini bisa memperbaiki Indonesia. Saya kira bisa. Mungkin suatu saat juga ada pengganti saya,” harapnya.