Di acara talk show Kompasiainival 2013, Sabtu, 23/11/2013, di Grand Indonesia Mall, Fountain Atrium, lantai 3A, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mempunyai beberapa kisah inspiratif yang menarik. Salah satunya yang dia ceritakan di penghujung acara talk show tersebut.
Menurut Ahok, sebenarnya Indonesia mempunyai sedikitnya dua keunggulan penting dibandingkan dengan Amerika Serikat. Apakah itu? Berikut narasi yang saya buat berdasarkan cerita Ahok. Beberapa tahun lalu, dia pernah diundang oleh Parlemen Negeri Paman Sam itu untuk menghadiri suatu acara.
Pada kesempatan itu terjadi dialog santai antara dia dengan salah satu senator di sana. Senator itu berkata, “Lambang negara anda itu sebenarnya menjiplak lambang negara kami! “ Ahok terkejut, dan berkata, “Kenapa anda bisa berkata demikian?” “Anda lihat saja sendiri, burung elangnya sangat mirip. Cuma di negara anda, anda bilang itu namanya burung garuda.
Di lambang negara kami burung itu mengigit pita dengan tulisan berbahasa Latin, ‘E Pluribus Unum,’ yang berarti, ‘dari yang banyak menjadi satu.’ Sedangkan di negara anda, dijiplak dan dimodifikasi menjadi burung itu menggengam pita dengan tulisan berbahasa Sansekerta, ‘Bhinneka Tunggal Ika,’ yang artinya, ‘berbeda-beda tetapi tetap satu.’
Kedua pengertian itu pada dasarnya sama.” Ahok menjawab, “Saya tidak bisa membenarkan atau membantah klaim anda itu. Karena negara anda sudah merdeka lebih dulu dari kami lebih dari 200 tahun.
Tetapi, tahukah anda burung di lambang negara anda itu mempunyai kelemahan dibandingkan dengan Burung Garuda kami? Bahkan burung elang di lambang negara anda itu sebenarnya juga bisa ditafsirkan sebagai lambang bangsa yang oportunis!” Giliran senator itu yang terkejut, “Kenapa anda bisa berkata demikian? Kami bangsa oportunis?” “Ya, itu juga merupakan sedikitnya dua keunggulan bangsa kami dibandingkan dengan bangsa anda,” jawab Ahok.
Dengan nada penasaran senator itu berkata, “Jelaskan argumen anda itu!?” Ahok menjelaskan, “Burung elang di lambang negara anda menggambarkan dia sedang menggigit pita bertuliskan ‘E Pluribus Unum,’ yang artinya ‘dari banyak menjadi satu,’ tetapi karena pita dengan tulisan tersebut digigit dengan paruhnya, maka ketika elang tersebut harus makan, maka dia pun pasti akan melepaskan pita tersebut.
Inilah lambang oportunisme itu, ketika kebutuhannya mendesak harus dipenuhi, maka dia akan melepaskan ‘E Pluribus Unum’ itu. Persatuan bisa dikorbankan demi kepentingan dirinya sendiri!” Senator itu terdiam.
Ahok melanjutkan, “Berbeda sekali dengan lambang negara kami. Pita ‘Bhinneka Tunggal Ika’ itu tidak digigit dengan paruhnya, tetapi digenggam erat-erat dengan cakarnya. Ketika ia harus makan, maka pita tersebut tetap digenggam erat. Itu melambangkan prinsip bangsa kami, bahwa apapun yang terjadi persatuan bangsa adalah tetap nomor satu!” Senator itu mengangguk-angguk kepalanya tanda memahami penjelasan Ahok.
Kemudian dia berkata, “Tadi anda mengatakan ada sedikitnya dua keunggulan bangsa anda daripada bangsa kami. Apa itu yang kedua?” Ahok bertanya balik, “Lebih dari 90 persen orang orang Amerika beragama Kristen.
Seandainya Obama adalah seorang Muslim, apakah orang Amerika akan tetap memilihnya sebagai presiden mereka? Belum tentu bukan? Nah, di negara saya, di Belitung Timur, penduduknya lebih dari 90 persen Muslim, tetapi mereka pernah memilih bupatinya yang dobel minoritas, yaitu China dan Kristen.” Ahok menyelesaikan ceritanya. Hadirin di acara Kompasianiival malam itu pun bertepuk tangan meriah.
Namun, secara substansial makna, kita bisa memahami maksud Ahok dalam ceritanya itu. Yakni, bahwa bangsa yang besar seharusnya tidak lagi menilai orang lain, termasuk dan terutama (calon) pimpinannya berdasarkan etnis dan agamanya. Bangsa yang berjiwa kerdil dan berwawasan sempitlah yang masih mempertahankan sentiman SARA dalam mengambil sikap politiknya.
Bangsa yang demikian mustahil untuk bisa bergaul, maju dan bergaul di kancah internasional di era globalisasi seperti sekarang ini. Cerita Ahok mengenai “keunggulan kedua” itu mungkin memang relevan di masa lalu, tetapi, tidak lagi di masa sekarang. Seiring dengan semakin majunya cara berpikir manusia moderen saat ini, yang semakin tidak lagi memandang orang dari etnis dan agamanya tetapi, integritas dan prestasinya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, yang mayoritas Muslim, tetapi juga di beberapa negara lain, termasuk Amerika Serikat. Amerika Serikat juga pada awal November 2013 lalu mencatat sejarah barunya dengan memilki seorang walikota baru yang beragama Islam. Dia adalah seorang pria bernama M Saud Anwar (46 tahun), dipilih warga kota South Windsor, negara bagian Connecticut, sebagai walikota mereka yang baru.
Padahal, di kota itu hanya ada 375 jiwa yang beragama Islam dari jumlah penduduknya yang lebih dari 100.000 jiwa (yang beragama Kristen). Anwar berasal dari Partai Demokrat dan terpilih sebagai warga Muslim pertama yang pernah menjabat sebagai wali kota di wilayah Connecticut. Anwar sebenarnya adalah warga imigran yang datang dari Karachi, Pakistan, pada 1991 lalu.
Awalnya ia tinggal bersama neneknya di Illionis. Kemudian ia pindah ke Connecticut karena ia menempuh studi di Yale University. Dia dapat diterima dan akhirnya dipilih oleh warga kota itu menjadi walikota mereka, karena selama ini dia dikenal berkerpibadian baik.
Dia tak pernah berbicara menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan agama dalam menjalankan pekerjaannya itu, maupun selama menjadi politisi Partai Demokrat. “Kita hidup di sebuah kota di mana orang saling merangkul, dihormati untuk siapa mereka dan apa yang mereka lakukan, bukan menonjolkan perbedaan atau apa kepercayaan mereka.
Itulah salah satu hal yang membuat anda jatuh cinta dengan South Windsor,” ujar Anwar, dilansir dari Onislam.net. Anwar memandang jabatan barunya sebagai simbol kuat yang menyampaikan pesan harapan . " Ini menghilangkan penilaian dari orang-orang yang menyerang Amerika (sebagai orang yang rasis), '' katanya .
"Ketika mereka mengatakan bahwa kita (orang Amerika) tidak menghormati warga tertentu karena memiliki perbedaan tertentu (etnis dan agama), pada kesempatan inilah kita menyatakan kepada mereka, bahwa itu tidak benar. Kami adalah negara imigran dan kami juga merupakan bagian dari negara ini, yang terdiri dari orang-orang yang berbeda agama (dan etinisnya)." “Kota sama halnya dengan manusia.
Merupakan sebuah kesatuan tunggal dari berbagai sistem organ keamanan, pekerjaan umum, pelayanan publik, keuangan, dan semua sistem yang ada harus bekerja sama agar kota pun bisa berjalan lancar seperti halnya tubuh manusia bisa sehat,” tegas Saud Anwar dalam pidato pelantikannya.
Seandainya saja Barrack Obama adalah seorang Muslim, bisa jadi dia akan tetap dipilih oleh orang Amerika Serikat sebagai presiden mereka. Karena orang Amerika melihat kepribadian dan jiwa kenegarawan yang begitu besar dari sosok seorang Obama.
Jiwa kenegarawan Obama terbukti dari sikapnya pada kasus ketika pada 2010, sebagian warga AS menolak pembangunan Islamic Center dan masjid di dekat Ground Zero, lokasi bekas dua menara gedung WTC yang diserang teroris dengan pesawat terbang sampai hancur dan rata dengan tanah pada 11 Septmber 2001.
Ketika itu Obama tetap pada keputusannya untuk mengizikan pembangunan kompleks Islamic Center itu, meskipun, dikecam cukup banyak warganya. Tuduhan yang antara lain dilontarkan kepadanya adalah tidak peka terhadap ribuan keluarga korban yang tewas dalam serangan teroris itu.
Dalam pidatonya pada 12 Agustus 2010, Obama berkata, "Saya tidak bekomentar dan saya tidak akan komentar tentang kebijaksanaan untuk memutuskan menempatkan sebuah masjid di sana." seperti dikutip AFP, Minggu, 15/8/2010 (detik.com).
"Saya berkomentar sangat khusus tentang hak yang rakyat miliki ketika negara ini berdiri. Itulah negara kita. ... Dan, saya kira amat penting, sesulit apapun masalah-masalah ini, bahwa kita tetap fokus tentang siapa kita sebagai manusia dan apa nilai-nilai kita.”
Sedangkan pengelola "Cordoba House," nama Islamic Center itu berkata, kompleks iersebut akan mencakup sebuah masjid, fasilitas olahraga, teater, restoran. Lokasi akan terbuka untuk semua pengunjung untuk menunjukkan bahwa umat Islam adalah bagian dari komunitas mereka.” Akhirnya, warga AS pun bisa menerima keputusan Presiden Obama itu.
Obama sebagai pimpinan nomor satu AS saat ini dengan berpegang tegih kepada Konstitusi negaranya telah memberi pembelajaran yang sangat berga bagi bangsanya dalam memandang setiap persoalan seperti itu.
Dia berani mengambil tindakan tidak populis di mata rakyatnya demi kemajuan bangsanya itu. Ketika berkunjung ke Indonesia, dalam pidatonya pada 10 November 2010, di Balairung Universitas Indonesia, Depok, Obama juga sempat memuji dan mengingatkan Indonesia mengenai pentingnya mempertahankan dan mempraktekkan “Bhinneka Tunggal Ika,” atau “Unitiy in Diversity” di Indonesia.
Bandingkanlah dengan sikap Presiden kita ketika berhadapan dengan kelompok intoleran dan anarkis terhadap pemeluk agama minoritas di negeri ini. Maka, di dalam konteks kepimpinan bangsa ini, saya kira, AS lebih unggul daripada kita, karena mereka memiliki Pimpinan seperti Obama.
Pada kesempatan itu terjadi dialog santai antara dia dengan salah satu senator di sana. Senator itu berkata, “Lambang negara anda itu sebenarnya menjiplak lambang negara kami! “ Ahok terkejut, dan berkata, “Kenapa anda bisa berkata demikian?” “Anda lihat saja sendiri, burung elangnya sangat mirip. Cuma di negara anda, anda bilang itu namanya burung garuda.
Di lambang negara kami burung itu mengigit pita dengan tulisan berbahasa Latin, ‘E Pluribus Unum,’ yang berarti, ‘dari yang banyak menjadi satu.’ Sedangkan di negara anda, dijiplak dan dimodifikasi menjadi burung itu menggengam pita dengan tulisan berbahasa Sansekerta, ‘Bhinneka Tunggal Ika,’ yang artinya, ‘berbeda-beda tetapi tetap satu.’
Kedua pengertian itu pada dasarnya sama.” Ahok menjawab, “Saya tidak bisa membenarkan atau membantah klaim anda itu. Karena negara anda sudah merdeka lebih dulu dari kami lebih dari 200 tahun.
Tetapi, tahukah anda burung di lambang negara anda itu mempunyai kelemahan dibandingkan dengan Burung Garuda kami? Bahkan burung elang di lambang negara anda itu sebenarnya juga bisa ditafsirkan sebagai lambang bangsa yang oportunis!” Giliran senator itu yang terkejut, “Kenapa anda bisa berkata demikian? Kami bangsa oportunis?” “Ya, itu juga merupakan sedikitnya dua keunggulan bangsa kami dibandingkan dengan bangsa anda,” jawab Ahok.
Dengan nada penasaran senator itu berkata, “Jelaskan argumen anda itu!?” Ahok menjelaskan, “Burung elang di lambang negara anda menggambarkan dia sedang menggigit pita bertuliskan ‘E Pluribus Unum,’ yang artinya ‘dari banyak menjadi satu,’ tetapi karena pita dengan tulisan tersebut digigit dengan paruhnya, maka ketika elang tersebut harus makan, maka dia pun pasti akan melepaskan pita tersebut.
Inilah lambang oportunisme itu, ketika kebutuhannya mendesak harus dipenuhi, maka dia akan melepaskan ‘E Pluribus Unum’ itu. Persatuan bisa dikorbankan demi kepentingan dirinya sendiri!” Senator itu terdiam.
Ahok melanjutkan, “Berbeda sekali dengan lambang negara kami. Pita ‘Bhinneka Tunggal Ika’ itu tidak digigit dengan paruhnya, tetapi digenggam erat-erat dengan cakarnya. Ketika ia harus makan, maka pita tersebut tetap digenggam erat. Itu melambangkan prinsip bangsa kami, bahwa apapun yang terjadi persatuan bangsa adalah tetap nomor satu!” Senator itu mengangguk-angguk kepalanya tanda memahami penjelasan Ahok.
Kemudian dia berkata, “Tadi anda mengatakan ada sedikitnya dua keunggulan bangsa anda daripada bangsa kami. Apa itu yang kedua?” Ahok bertanya balik, “Lebih dari 90 persen orang orang Amerika beragama Kristen.
Seandainya Obama adalah seorang Muslim, apakah orang Amerika akan tetap memilihnya sebagai presiden mereka? Belum tentu bukan? Nah, di negara saya, di Belitung Timur, penduduknya lebih dari 90 persen Muslim, tetapi mereka pernah memilih bupatinya yang dobel minoritas, yaitu China dan Kristen.” Ahok menyelesaikan ceritanya. Hadirin di acara Kompasianiival malam itu pun bertepuk tangan meriah.
Namun, secara substansial makna, kita bisa memahami maksud Ahok dalam ceritanya itu. Yakni, bahwa bangsa yang besar seharusnya tidak lagi menilai orang lain, termasuk dan terutama (calon) pimpinannya berdasarkan etnis dan agamanya. Bangsa yang berjiwa kerdil dan berwawasan sempitlah yang masih mempertahankan sentiman SARA dalam mengambil sikap politiknya.
Bangsa yang demikian mustahil untuk bisa bergaul, maju dan bergaul di kancah internasional di era globalisasi seperti sekarang ini. Cerita Ahok mengenai “keunggulan kedua” itu mungkin memang relevan di masa lalu, tetapi, tidak lagi di masa sekarang. Seiring dengan semakin majunya cara berpikir manusia moderen saat ini, yang semakin tidak lagi memandang orang dari etnis dan agamanya tetapi, integritas dan prestasinya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, yang mayoritas Muslim, tetapi juga di beberapa negara lain, termasuk Amerika Serikat. Amerika Serikat juga pada awal November 2013 lalu mencatat sejarah barunya dengan memilki seorang walikota baru yang beragama Islam. Dia adalah seorang pria bernama M Saud Anwar (46 tahun), dipilih warga kota South Windsor, negara bagian Connecticut, sebagai walikota mereka yang baru.
Padahal, di kota itu hanya ada 375 jiwa yang beragama Islam dari jumlah penduduknya yang lebih dari 100.000 jiwa (yang beragama Kristen). Anwar berasal dari Partai Demokrat dan terpilih sebagai warga Muslim pertama yang pernah menjabat sebagai wali kota di wilayah Connecticut. Anwar sebenarnya adalah warga imigran yang datang dari Karachi, Pakistan, pada 1991 lalu.
Awalnya ia tinggal bersama neneknya di Illionis. Kemudian ia pindah ke Connecticut karena ia menempuh studi di Yale University. Dia dapat diterima dan akhirnya dipilih oleh warga kota itu menjadi walikota mereka, karena selama ini dia dikenal berkerpibadian baik.
Dia tak pernah berbicara menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan agama dalam menjalankan pekerjaannya itu, maupun selama menjadi politisi Partai Demokrat. “Kita hidup di sebuah kota di mana orang saling merangkul, dihormati untuk siapa mereka dan apa yang mereka lakukan, bukan menonjolkan perbedaan atau apa kepercayaan mereka.
Itulah salah satu hal yang membuat anda jatuh cinta dengan South Windsor,” ujar Anwar, dilansir dari Onislam.net. Anwar memandang jabatan barunya sebagai simbol kuat yang menyampaikan pesan harapan . " Ini menghilangkan penilaian dari orang-orang yang menyerang Amerika (sebagai orang yang rasis), '' katanya .
"Ketika mereka mengatakan bahwa kita (orang Amerika) tidak menghormati warga tertentu karena memiliki perbedaan tertentu (etnis dan agama), pada kesempatan inilah kita menyatakan kepada mereka, bahwa itu tidak benar. Kami adalah negara imigran dan kami juga merupakan bagian dari negara ini, yang terdiri dari orang-orang yang berbeda agama (dan etinisnya)." “Kota sama halnya dengan manusia.
Seandainya saja Barrack Obama adalah seorang Muslim, bisa jadi dia akan tetap dipilih oleh orang Amerika Serikat sebagai presiden mereka. Karena orang Amerika melihat kepribadian dan jiwa kenegarawan yang begitu besar dari sosok seorang Obama.
Jiwa kenegarawan Obama terbukti dari sikapnya pada kasus ketika pada 2010, sebagian warga AS menolak pembangunan Islamic Center dan masjid di dekat Ground Zero, lokasi bekas dua menara gedung WTC yang diserang teroris dengan pesawat terbang sampai hancur dan rata dengan tanah pada 11 Septmber 2001.
Ketika itu Obama tetap pada keputusannya untuk mengizikan pembangunan kompleks Islamic Center itu, meskipun, dikecam cukup banyak warganya. Tuduhan yang antara lain dilontarkan kepadanya adalah tidak peka terhadap ribuan keluarga korban yang tewas dalam serangan teroris itu.
Dalam pidatonya pada 12 Agustus 2010, Obama berkata, "Saya tidak bekomentar dan saya tidak akan komentar tentang kebijaksanaan untuk memutuskan menempatkan sebuah masjid di sana." seperti dikutip AFP, Minggu, 15/8/2010 (detik.com).
"Saya berkomentar sangat khusus tentang hak yang rakyat miliki ketika negara ini berdiri. Itulah negara kita. ... Dan, saya kira amat penting, sesulit apapun masalah-masalah ini, bahwa kita tetap fokus tentang siapa kita sebagai manusia dan apa nilai-nilai kita.”
Sedangkan pengelola "Cordoba House," nama Islamic Center itu berkata, kompleks iersebut akan mencakup sebuah masjid, fasilitas olahraga, teater, restoran. Lokasi akan terbuka untuk semua pengunjung untuk menunjukkan bahwa umat Islam adalah bagian dari komunitas mereka.” Akhirnya, warga AS pun bisa menerima keputusan Presiden Obama itu.
Obama sebagai pimpinan nomor satu AS saat ini dengan berpegang tegih kepada Konstitusi negaranya telah memberi pembelajaran yang sangat berga bagi bangsanya dalam memandang setiap persoalan seperti itu.
Dia berani mengambil tindakan tidak populis di mata rakyatnya demi kemajuan bangsanya itu. Ketika berkunjung ke Indonesia, dalam pidatonya pada 10 November 2010, di Balairung Universitas Indonesia, Depok, Obama juga sempat memuji dan mengingatkan Indonesia mengenai pentingnya mempertahankan dan mempraktekkan “Bhinneka Tunggal Ika,” atau “Unitiy in Diversity” di Indonesia.
Bandingkanlah dengan sikap Presiden kita ketika berhadapan dengan kelompok intoleran dan anarkis terhadap pemeluk agama minoritas di negeri ini. Maka, di dalam konteks kepimpinan bangsa ini, saya kira, AS lebih unggul daripada kita, karena mereka memiliki Pimpinan seperti Obama.